TSriTUW9BUMiGpY5BUz5GSGiTi==

Kota Rebah, Pusat Peradaban Melayu yang Sunyi

Oleh Yeyen Kiram

Mengunjungi kota tua, Kota Rebah saat ini, jangan berharap pengunjung masih akan menemukan suasana yang hiruk, geliat ekonomi dan kebisingan dari deru transportasi di mana-mana, sebagaimana umumnya ciri khas dari sebuah kota yang sekaligus pusat pemerintahan dan perniagaan.

Kota Rebah sekarang terlihat tak lebih lahan semi hutan yang kosong dengan pelbagai macam jenis pepohonan; karet, jati, beringin, kulit manis, dan tumbuhan lain usng tumbuh subur terawat. Di beberapa tumpak terdapat beberapa gundukan keping bebatuan penuh lumut dan sulur, papan pengumuman serta bangku-bangku taman yang terlihat masih baru, dicat warna hijau.

Pernah Berjaya
Semua itu seolah hadir sebagai saks8i bisu, bukti nyata tentang adanya kejayaan masa lalu yang pernah mengisi riuhnya perjalanan sejarah kota Tanjung Pinang di Pulau Bintan. Pulau cantik ini diketahui sebagai bahagian dari episode kebesaran sejarah kerajaan Melayu terbesar di Asia Tenggara, abad ke 15 Masehi.

Kawasan Kota Rebah berada di wilayah Kampung Sungai Timun, Kelurahan Kota Piring, Kec.Tanjung Pinang Timur,  Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Kota ini dinamakan Tanjung Pinang, konon karena bentuk alamnya yang menjorok ke laut dan banyak di mana-mana ditumbuhi pohon pinang. Kepulauan Riau merupakan propinsi kepulauan ke-32 termuda, yang terbentuk pada tahun 2002. Setelah 8 Mei 1950 bergabung bersama daerah kepulauan Riau lainya, sebagai bahagian dari wilayah Republik Indonesia.

Untuk memasuki areal kota tua, Kota Rebah, sekitar 15 menit perjalanan berkendaraan dari Bandara Haji Fi Sabilillah, atau sekitar 30 menit jika melalui kota Tanjung Pinang. Kemudian pengunjung akan menyebrangi sebuah jembatan besi yang kokoh, sepanjang lebih kurang 500 m. Jembatan berada di atas permukaan sungai Carang yang jernih dan lebar. Dulu sungsi Carang dikenal dengan nama Hulu Riau.

Perjalanan ke Kota Rebah diteruskan dengan melewati jalanan yang tak terlalu luas, dengan aspal seadanya. Jika pertamakali berkunjung ke mari, jangan khawatir tersesat. Karena ada beberapa papan petunjuk arah, yang dicat dengan warna hijau mencolok, terpampang di mana-mana, akan membantu memberi arah. Di kiri dan kanan badan jalan, terdapat hutan bakau yang hampir  mengering di sana sini, terhampar luas sejauh mata memandang. Beberapa rumah penduduk setempat, terlihat menyebar berkelompok tiga atau lima rumah, dengan jarak dengan batas tak teratur. Menyiratkan bagaimana daerah ini masih membutuhkan sentuhan pembangunan infrastruktur yang lebih baik.

Setelah melewati lengkung gapura setinggi sekitar 6 meter berwarna kuning cerah, seolah penanda batas dari wilayah kota, maka itulah  yang dimaksud dengan kota Rebah, sebuah kota tua yang sekarang hanya menyisakan puing, berupa potongan-potongan batu merebah nampak di sana-sini kini. Jika tak ada pengunjung, tentulah suasana hening, sunyi dan teduh, memenuhi udara di kawasan kota tua ini. Namun dari  serpih sisa dinding-dinding bangunan yang telah lepas dari bentuk utuh aslinya, pun meski hanya tinggal beberapa potong dinding maupun tapak bangunan saja kini, seolah lesap menjemput bayangan imaji kita akan sebuah kota metro  yang penuh kajayaan pada masa berabad lalu. Pelabuhanya, sebagai cirik has utama,  pernah dipenuhi riuh keramaian, kesibukan penduduk dengan segala macam aktifitasnya, dan selalu hiruk pada dinamika keliaran tumbuh kota. Terlebih dengan adanya istana di pinggir sisi sungai, sebagai simbol dari sebuah kota utama, pernah berdiri megah di sisi utara areal ini.

Metropolis di Asteng
Deskripsi demikian merupakan suasana dari masa saat kejayaan sebagai kota Rebah masih berperan sebagai metropolis di kawasan Asia Tenggara, yang berkibar pada abad 16-17 silam. Karena dari sini pulalah dahulunya pusat  kesultanan Riau-Lingga - Johor-Pahang, pernah berjaya

Perkembangan kota kian pesat, terutama di masa kepimpinan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I (1722-1760) hingga Sultan MahmudSyah III. Pelabuhan di kota ini, atau juga dinamakan Bandar Riau pernah tercatat sebagai urat nadi ekonomi bagi Kerajaan Riau Lingga. Terlebih saat itu Tanjung Pinang amat dikenal sebagai daerah penghasil lada dan gambir terbesar di sepanjang pantai timur.

Sekarang di Kota Rebah, dengan lahan seluas sekitar 10ha, dimana proses pengerjaan ekskavasi baru selesai dilakukan pada tahun 2014 lalu, oleh Pemerintah Daerah setempat, berkerjasama dengan Balai Arkeologi Medan dan Badan Pelestarian Cagar Budaya, Batusangkar, Sumatera Barat. Dari hasil ekskavasi ini lebih bisa dirunutkan tentang proses dan detail tinggalan objek arkeologi yang ada, untuk penelusuran yang lebih lengkap lagi.

Pada beberapa tempat, selain di diisi oleh beberapa bongkah bebatuan seperti bekas dari reuntuhan dari sebuah bangunan yang telah melumut rapi, tersusun di atas hamparan gundukan tanah. Ada beberapa tembok yang hampir runtuh, atau nyaris hilang separuhnya, sebagai bukti dari sisa bangunan. Namun dari sisa bangunan apakah sebelumnya reruntuhan itu berasal, belum bisa dijelaskan dengan tepat. Karena, pada beberapa literatur yang penulis baca, ada yang menyebutkan sebagai bekas istana,ataurumah pejabat setempat. Sebaliknya dari hasil penelitian ekskavasi dari Balai Arkeologi Medan,  disebutkan potongan bebatuan tersebut  adalah sisa dari bangunan loji, yakni semacam gudang penyimpanan barang-barang yang akan di ekspor maupun impor. Hal ini lumrah di masa kolonial dahulu. Membangun loji-loji di daerah pusat perdagangan atau di pelabuhan niaga.

Selain itu, pada areal situs kota tua ini, juga terdapat makam Daeng Celak, seorang pemimpin dari Bugis yang diketahui banyak berperan dalam proses sejarah penyatuan Raja-Raja Melayu di wilayah Nusantara. Daeng Celak juga dikenal sebagai Yang Dipertuan Muda Riau kedua, memimpin kesultanan Riau-Lingga sepanjang tahun 1728-1742. Tidak jauh dari makam Daeng Celak,  juga terdapat makam Daeng Marewa, yang merupakan juga saudara dari Daeng Celak. Serta makam Bendahara Tum Abbas yang pernah menjabat sebagai bendahara  Sri Maharaja Johor pada tahun 1735.

Pada masa itu, Kota Rebah juga diketahui sebagai bagian dari pusat perdagangan kerajaan Johor, yang kemudian bertransformasi sebagai Kesultanan Riau Lingga. Pada tahun 1673, Sultan Ibrahim Syah memerintahkan Laksamana Tum Abdul Jamal untuk menjadikan sungai Carang di pulau Bintan sebagai pusat perdagngan utama kerajaan. Sejak itulah Sungai Carang tercatat sebagai pusat perdagangan Internasional di kawasan Asia Tenggara, yang juga dikenal bahagian wilayah tanah di bawah Angin. Selalu menggeliat dan menjadi tempat bersandar serta persinggahan utama bagi ratusan kapal yang berlayar datang dari pelbagai negeri seperti Siam, Kedah, Inggris, Portugis danga Cina, serta lainya.  Kedatangan kapal-kapal tersebut tentulah tidak sekedar untuk kepentingan perniagaan saja, juga mengandung misi diplomatik dan politik, serta budaya diantara sesama kerajaan Melayu.

Sungai Carang
Warisan sisa dari kejayaan Malayu di pulau Bintan melalui aliran Sungai Carang masih bisa ditemui hingga kini, melalui ruas  tembok pelabuhan yang menghubungi sisi badan sungai, dengan daratan. Kegiatan pelayaran agaknya, masih berlangsung hingga masa sekarang, dengan masih kokohnya besi-besi penyangga pada atap dan pilar dermaga pelabuhan. Namun sifat dan aktifitasnya mungkin kian mengecil sekarang. Sesuai kebutuhan masyarakat lokal saja. Sebab dari sisi luar dermaga kecil ini, di seberang beberapa rumpun himpunan hutan bakau dan pulau-pulau mungil, terlihat tak jauh bertebaran.

Kota Rebah, atau kota Tua, memang patut dinamakan juga sebagai kota lama. Mengingat usianya yang sudah mencapai ratusan tahun. Sejak dikuasainya Malaka oleh Portugis tahun 1511, dan disusul pembahagian wilayah kekuasaan oleh para kolonial Inggris dan Belanda, maka keadaan kota inipun mengalami perubahan. Terutama dari status kota.
Jika semula pusat pemerintahan berada di kawasan Johor, selanjutnya berpusat di Riau, yakni di pinggir Sungai Carang, Pulau Bintan. Setelah beberapa kali pindah dari johor ke Riau dan sebaliknya, pusat kekuatan dan pemerintahanpun  akhirnya kembali ditetapkan di Riau atau Hulu Riau, dan kadang juga ditulis Riau Lama.

Adapun sebagai pusat pemerintahan, dipakai bersama oleh Yang Dipertuan Besar dan Yang Dipertuan Muda Riau IV.  Pada tahun 1778, Raja Haji menempati istananya yang disebut dengan nama Kota Piring, terletak agak jauh dari hilir pulau Biram Dewa.

Namun sejak tewasnya Raja Haji Fisabilillah di Teluk Ketapang pada tahun 1784, maka pusat pemerintahanpun dipindahkan oleh Yang Dipertuan Besar  dan Yang Dipertuan Muda ke pulau Penyengat Indera Sakti. Sultan pun berbalik ke Daik ( Pulau Lingga ).

Sehingga suasana di kota Rebah pun muram. Aktifitas perniagaanpun lama kelamaan, menjadi berkurang seiring waktu, dimana lazimnya, orang-orang berpindah, untuk menuju daerah baru yang lebih ramai dan menjanjikan. Terutama secara ekonomi. Kota ini pun secara prlahan mulai ditinggalkan bersama sunyinya, kembali pada keharibaan semesta.

Padang, 5 Oktober 2024

Literatur:
1.Reid, Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga, 2014.
2. Yuanzhi, Kong, Cheng Ho, MuslimTionghoa, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, 2011.
3. BPS, 2011, Tanjung Pinang Dalam Angka.
4. Koestoro, Lucas Pertanda, Balai Arkeologi Medan, 2015.
5. Kantor Dinas Pariwisata, Kota Tanjung Pinang, 2024  




Komentar0

Type above and press Enter to search.